Karakteristik Balanced ScoreCard

August 4th, 2010 by layong No comments »

Menurut John Sterling pada jurnalnya yang  berjudul “Using The Balanced Scorecard In A Sophisticated Law Firm” tahun 2007, terdapat 4 (empat) karakteristik dalam kertas kerja BSC ini, yaitu:

1.  Pengukuran Finansial: pengukuran ini mendefinisikan kebutuhan dari stakeholders dan ekspetasi dari perusahaan. Dalam beberapa kalangan, BC dianggap sebagai reaksi berfokus terhadap nilai pemegang saham. Itu adalah kesimpulan yang salah. Penulis hanya mendefinisikan kebutuhan manajemen untuk mengukur unsur-unsur lain dari strategi dan operasi jika hal itu dipandang akan memberikan hasil keuangan yang lebih baik.

2.  Pengukuran terhadap pelanggan: pengukuran ini lebih berfokus bagaimana perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan dan mengukur tingkat kepuasan pelanggan. Beberapa yang diukur adalah fleksibilitas, inovasi, tanggung jawab, dan lainnya yang berkaitan dengan kepuasan pelanggan.

3.  Pengukuran terhadap pengembangan dan pembelajaran: pengukuran ini lebih berfokus pada bagaimana perusahaan menerapkan perubahan dalam organisasi dan mengembangkan sektor-sektor yang masih perlu peningkatan.

4. Pengukuran terhadap bisnis proses perusahaan: pengukuran ini berfokus pada bagaimana perusahaan meningkatkan bisnis proses terhadap strategi bisnis, sehingga bisnis perusahaan dapat berjalan dengan baik dan meningkat.

Source:

Sterling, John. 2007. Using The Balanced Scorecard In A Sophisticated Law Firm. Journal Vol. 26, No. 1.

Implementasi Balanced ScoreCard

August 4th, 2010 by layong No comments »

Menurut Ashu Sharma pada jurnalnya “Implementing Balance Scorecard For Performance Measurement“ tahun 2009, terdapat 9 (sembilan) langkah dalam implementasi BCS hingga sukses, yaitu:

  1. Langkah pertama pada proses membangun scorecard dimulai dengan penilaian dari misi dan visi organisasi, tantangan dan nilai-nilai. Hal ini juga termasuk mempersiapkan rencana manajemen perubahan bagi organisasi
  2. Langkah kedua, unsur-unsur strategi organisasi, termasuk hasil strategis, tema strategis dan perspektif, yang dikembangkan untuk memusatkan perhatian pada kebutuhan pelanggan dan proposisi nilai organisasi.
  3. Pada langkah ketiga, elemen-elemen strategis yang dikembangkan pada langkah satu dan dua, didekomposisi menjadi sebuah tujuan strategis, yang merupakan blok bangunan dasar dari strategi dan menentukan tujuan strategis organisasi. Tujuan yang pertama dimulai dan dikategorikan pada tingkat tema strategis, dikategorikan oleh perspektif, dan terkait dalam hubungan sebab-akibat (peta strategi) untuk setiap tema strategis dan kemudian bergabung bersama-sama untuk menghasilkan satu set tujuan strategis untuk seluruh organisasi.
  4. Pada langkah empat, penyebab dan efek hubungan antara tujuan strategis perusahaan yang tertuang dalam peta strategi perusahaan. Tema peta strategi yang dibangun sebelumnya telah bergabung ke dalam peta strategi keseluruhan perusahaan yang menunjukkan bagaimana organisasi menciptakan nilai bagi pelanggan dan stakeholder.
  5. Pada tahap lima, tolok ukur kinerja dikembangkan untuk masing-masing tujuan strategis perusahaan. Memimpin dan lagging tindakan diidentifikasi, target yang diharapkan dan batasan yang ditetapkan, serta baseline dan data pembandingan dikembangkan.
  6. Pada langkah enam, inisiatif strategis yang dikembangkan yang mendukung tujuan strategis. Untuk membangun akuntabilitas di seluruh organisasi, kepemilikan tolok ukur kinerja dan inisiatif strategis diberikan kepada staf yang tepat dan didokumentasikan dalam tabel data definisi.
  7. Pada langkah tujuh, proses pelaksanaan dimulai dengan menerapkan pengukuran kinerja perangkat lunak untuk mendapatkan informasi kinerja yang tepat untuk orang yang tepat pada waktu yang tepat. Otomasi menambah struktur dan disiplin untuk menerapkan sistem balanced scorecard, membantu transformasi data perusahaan yang berbeda menjadi informasi dan pengetahuan dan membantu mengkomunikasikan informasi kinerja. Singkatnya, otomatisasi membantu orang membuat keputusan yang lebih baik karena menawarkan akses cepat ke data kinerja aktual.
  8. Pada langkah delapan, level scorecard perusahaan mengalir ke dalam bisnis dan dukungan scorecard unit, yang berarti scorecard tingkat organisasi (tingkat pertama) diterjemahkan ke dalam unit bisnis atau unit pendukung Scorecard (tingkat kedua) dan kemudian diterjemahkan ke tim dan individu Scorecard (tier ketiga). Menerjemahkan strategi secara terbalik dari tingkat tinggi ke dalam tujuan tingkat rendah, ukuran dan rincian operasional. Cascading adalah kunci untuk penyelarasan organisasi sekitar strategi. Tim dan individu Scorecard link bekerja sehari-hari dengan tujuan departemen dan visi perusahaan. Pengukuran kinerja dikembangkan untuk semua tujuan di semua tingkat organisasi. Sebagai pengukuran kepada sistem manajemen yang mengalir turun melalui organisasi, tujuan menjadi lebih operasional dan taktis, seperti melakukan pengukuran kinerja. Akuntabilitas mengikuti tujuan dan ukuran, sebagai kepemilikan didefinisikan pada setiap tingkat. Penekanan pada hasil usaha dan strategi yang diperlukan untuk memproduksi hasil yang dikomunikasikan ke seluruh organisasi.
  9. Pada langkah sembilan, evaluasi scorecard selesai dikerjakan.

Source: Sharma, Ashu. 2009. Implementing Balance Scorecard For Performance Measurement. The IUP Journal of Business Strategy, Vol. VI, No. 1.

FASE – FASE APIM

August 4th, 2010 by layong No comments »

Fase 1: Pre – Maturity

Step 1 – Launch

Launch adalah adalah kunci untuk memiliki sumber daya yang tepat dan anggaran untuk pelaksanaan APIM. Disinilah dimana kita mendapatkan budget dari manajemen eksekutif. Tanpa dukungan dari mereka, hamper mustahil untuk begerak maju, terlebih dari menggunakan metode agile.

Sumber daya awal dan proses perjanjian dengan tim akan menjadi sebuah proses awal dari Launch. Sangat disarankan, pada tim utama berupa tim kecil saja tergantung dari ukuran perusahaannya. hal ini dikarenakan, apabila tim yang besar dengan orang yang banyak akan menyebabkan lambatnya sebuah proyek berjalan karena terlalu banyak silang pendapat. Dilain pihak, bila kita membuat tim kecil dengan waktu yang terbatas, ini juga bisa menyebabkan keterlambatan pada proyek, ataupun jika didalam tim terdapat orang yang perilaku negative, maka proyek ini dalam ancaman.

Kuncinya adalah mencari keseimbangan pada tim kecil itu. Yang membutuhkan pengawasan yang baik pada saat Launch. Ini mungkin akan membutuhkan waktu yang lama untuk membentuk sebuah tim yang baik, yang cukup handal dalam mengerjakan tugas-tugas mereka.

Executive Steering Committee harus sudah terbentuk sebelum proyek ini bergulir. Tim Executive ini sangat efektif dalam menyediakan informasi dan membantu memecahkan isu-isu yang membutuhkan pengambilan keputusan.

Tapi , ini harus diingat, metode agile, tangkas, harus dipakai, jangan sampai birokrasi yang panjang membuat metode agile ini tidak terlaksana oleh karena panjangnya birokrasi dan approval.

Dalam mencegah agile hilang, maka tim kecil harus dibekali dengan tanggung jawab yang besar dalam mengambil keputusan sendiri dan perubahan yang dibutuhkan untuk mencapai peningkatan proses yang diinginkan.

Langkah terakhir dalam Launch adalah mengadakan kick-off meeting. Yang mana, ada 2 hal yang ada pada kick-off meeting, yaitu:

  1. Pertemuan kick-off ini haruslah dengan staf ekseskutif
  2. Setelah sumberdaya dan perjanjian telah dibuat, pertemuan awal dengan tim kecil menjadi aktivitas pertama sehingga mengetahui bagaimana mereka bekerja sama.

Step 2 – Planning

Banyak sekali alasan mengapa sebuah proyek bisa gagal, salah satunya adalah perencanaan proyek yang salah. Perencanaan proyek didepan sangat penting, apalagi dengan metode agile, perencanaan harus benar dan efektif.

Pada fase ini, perencanaan harus dibuat mencakup beberapa hal, seperti:

–          Process improvement goals.

–          Major milestone dan tugas-tugas terkait

–          Pengukuran yang mengindikasikan keefektifan

–          Tanggung jawab tim

–          Resiko yang mungkin muncul

–          Budget

–          Criteria sukses pada proyek

Jadwal utama harus selalu dipelihara untuk mencakup semua tugas saat ini, tugas yang akan datang, dan potensi tugas. Setiap tugas saat ini dan mendatang harus diawasi untuk memastikan sumber daya yang sesuai tersedia untuk menyelesaikan tugas-tugas penting seperti yang ditugaskan. Jadwal utama harus dikembangkan dan dikelola oleh tim proses untuk memastikan timelines terpenuhi.

Fase 2: Maturity

Step 1 – Awarness

Penilaian kecil untuk menentukan dimana posisi perusahaan saat ini dan kemana perusahaan ini akan tuju. Focus pada fase ini adalah menemukan dan mengidentifikasi area-area yang lemah untuk diperbaiki atau ditingkatkan sehingga memenuhi criteria dari tujuan perusahaan.

Tujuan dari penilaian kecil akan menetapkan nilai bawah untuk kemajuan dari penilaian tersebut, yang mana akan dicapai pada setiap fase maturity.

Metode yang digunakan untuk penilaian kecil ini harus berdampak kecil terhadap karyawan perusahaan. Minimumnya, penilaian ini mencatat analisa hasil interview dengan karyawan.

Lama, besaran dan cakupan dari penilaian kecil ini tergantung pada keinginan perusahaan dan tujuan dari proyek. Hasil dari penilaian kecil ini harus menghasilkan area yang lemah dan memberikan solusi bagaimana area yang lemah tersebut bisa ditingkatkan.

Step 2 – Triage

Triage berasal dari bahasa Perancis kuno, yang berarti, mengurutkan. Triage digunakan untuk menggambarkan perlakuan terhadap peningkatan proses. Membuat prioritas dengan kategori berbeda dengan pertimbangan untuk menguatkan kelemahan yang ada serta proses yang dibutuhkan untuk menguatkannya. Pertimbangan lainnya adalah keberanian dalam mengambil keputusan pada sebuah proyek, yang mana criterianya harus berdasarkan tiga hal, yaitu: business goals, project goals, dan process goals.

Apapun yang digunakan oleh perusahaan, hal ini harus dilakukan dengan cermat agar mendapatkan apa yang menjadi tujuan perusahaan secepat mungkin.

Pemograman agile menggunakan kartu index menggambarkan cerita mereka. Metode ini sangatlah efektif pada peningkatan proses dengan menggambarkan kebutuhan user.

Step 3 – Resolution

Berdasarkan prioritas, aksi dipilih dan ditugaskan kepada setiap anggota tim untuk resolusi. Untuk setiap aksi, orang yang bertanggung jawab pada tim tersebut wajib membuat implemetasi yang mudah dan cepat. Besarnya perencanaan ini tergantung dari besarnya tugas yang diberikan, tetapi ini harus dibuat semudah dengan informasi yang diperlukan untuk mencapai tugas tersebut.

Berikut beberapa rekomendasi yang diikutisertakan dalam proyek,  yaitu: problem definition/objectives/purpose, team members, piloting strategy, desired results, issues and risks, timeline and high level tasks, and deliverables.

Pada saat pembuatan, proses juga harus melibatkan pembuatan business flows, peraturan, prosedur, forms, dan templates. Kuncinya sekali lagi adalah: KISS. Seperti pada pemograman agile, lakukan hal yang sederhana yang akan jalan. Apabila, dulunyan pembuatan dibuatkan dengan kompleks, maka refactoring pada pemograman, juga dapat berarti, membuat code menjadi lebih mudah, bersih, sederhana, dan elegan. Tapi ini tidak mengubah fungsionalitas atau membuat ulang semua proses.

Step 4 – Training

Pelatihan memainkan peran  yang sangat vital dalam menerima atau menolak sebuah perubahan proses. Penanganan khusus harus dilakukan untuk pelatihan dalam mendapatkan informasi dari process users. Waktu ini seharusnya dirangkaikan dengan proses bisnis dari spesifikasi pengguna dalam memanuhi kebutuhan mereka seakan mereka mendapatkan pelatihan tentang bisnis proses.

Step 5 – Deployment

Proses yang dirancang harus diuji coba terlebih dahulu sebelum bisnis proses tersebut dilakukan pada proses bisnis perusahaan secara real. Ini sangat penting memastikan proses bisnis ini berjalan, meskipun hanya sebatas teori.

Tim seharusnya berlaku seperti mentor dalam project ini ketika melakukan  uji coba pada bisnis proses. Pemeriksaan secara berkala harus dipastikan berjalan dengan baik dalam memenuhi setiap langkah, template, dan deliverable.

Step 6 – Trial

Ketika proses sudah dilakukan uji coba, tim seharusnya melakukan penilaian tentang keefektifan proses bisnis yang dibuat dengan beberapa criteria yang nantinya disetujui atau ditolak oleh mereka.

Fase 3: Post – Maturity

Step 1 – Assess

Fase terakhir adalah Post_maturity yang dimulai dengan penilaian-penilaian kecil yang harus dicapai ketika dilakukan. Metode yang digunakan dapat bervariasi tergantung dari keinginan perusahaan, tapi kuncinya disini adalah mengetahui kelemahan dan bagaimana memperbaikinya.

Step 2 – Improve

Pengembangan yang berkala harus dilakukan oleh perusahaan meskipun proyek telah selesai. Ini dikarenakan oleh banyak hal, seperti organisasi yang berubah, karyawan yang berubah, tujuan bisnis  yang berubah, dan masih banyak lagi, yang mana perubahan itu sangat cepat, sehingga membutuhkan peningkatan yang berkala untuk mengatasi perubahan ini.

Dalam rangkap tetap menjadi agile dan menekan biaya pada level minimum, APIM dapat digunakan terus karena pada awalnya sudah digunakan, dan ini perlu seorang analyst untuk membuat proses bisnis masa akan datang.

Beberapa hal  yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan secara berkala, yaitu

–          Improvement measures.

–          Audit plans.

–          Audit reports.

–          Periodic progress assessments.

–          Updated risks.

–          Updated budget.

–          Updated action plan.

–          Task-completion criteria.

source: Jacobs, Deb. “Accelerating Process Improvement Using Agile Techniques”, 2006.

Accelerating Process Improvement Methodology (APIM)

August 4th, 2010 by layong No comments »

Accelerating Process Improvement Methodology (APIM) sangat berpusat pada waktu. APIM juga menerapkan metode IDEAL (Initiating, Diagnosing, Establishing, Acting and Learning) sebagai dasar metode mereka. Yang mana, IDEAL juga berpatokan pada metode yang sangat umu, yaitu: PDAC (Plan – Do – Check – Act).

Sebuah metode pemograman agile yang sukses juga menggunakan APIM. Ini dikarenakan peningkatan proses juga bisa sangat kompleks seperti pengembangan software tersebut.

Tetapi, kunci sukses dari sebuah process improvement adalah meningkatkan bagaimana cara anda berbisnis, dan bagi sejumlah perusahaan, cepat, lebih baik, dan murah adalah dambaan terbesar.

Figure 1 dibawah ini menjelaskan bagaimana APIM bekerja.

apim

APIM sendiri mempunyai 3 fase,  yaitu:

  • Pre – Maturity
  • Maturity
  • Post – Maturity

Setiap fase terdiri dari langkah-langkah yang bervariasi untuk mengembangkan kedewasaan perusahaan. Pada figure 1, proses Maturity adalah berupa iterasi, yang mana akan berulang terus sampai perusahaan mencapai kedewasaan yang ditargetkan.

Metode ini menggunakan pendekatan agile dengan berpusat pada kesederhanaan. Seringkali, perusahaan banyak yang menggunakan over-process dalam mendesign proyek mereka, diantaranya multiple forms, plans, dan prosedur yang berakhir tidak jelas dan tidak berguna.

Review: Riset Tipe-Tipe Pemakai Sistem Informasi Eksekutif

August 1st, 2010 by layong 2 comments »

Pengantar

Dalam pengembangan Sistem Informasi Eksekutif (SIE) seringkali menghadapi kendala dan tidak jarang berujung kegagalan pada aplikasi tersebut. Kegagalan tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor non teknis disbanding faktor teknis. Faktor non teknis yang terbesar dalam menyebabkan kegagalan adalah people atau sumber daya manusianya, dalam hal ini adalah Eksekutif Perusahaan.

Pada jurnal, “An Examination of EIS Users”, Kent dan Rick, berusaha memetakan pemakai aplikasi SIE agar informasi yang tertampung pada SIE adalah tepat sasaran dan memberikan nilai manfaat pada Eksekutif Perusahaan. Pada jurnal ini, Kent dan Rick, juga menjelaskan metodologi yang mereka pakai dalam melakukan riset pemetaan pemakai SIE.

Manfaat dalam memetakan pemakai SIE adalah menghilangkan variabel kegagalan dalam implementasi SIE, yaitu: (1) taksonomi memberikan penjelasan yang kaya dan informative sehingga bisa dijadikan bahan diskusi dan bahan komunikasi di lapangan; (2) mengidentifikasi tipe-tipe pemakai SIE yang umum sehingga dapat ditentukan spesifikasi SIE yang tepat sesuai kebutuhan dari Eksekutif Perusahaan; (3) taksonomi pemakai SIE dapat menjadikan implementasi SIE menjadi lebih teratur untuk diatur; (4) taksonomi pemakai SIE dapat menjadi awalan yang baik bagi Eksekutif menentukan dan fokus pada tujuan mereka; (5) pengembangan SIE juga menjadi lebih mudah karena informasi yang akan dipakai sudah sesuai dengan kebutuhan Eksekutif Perusahaan.

Volonino dan Watson menjadikan referensi empat fungsional tipe dari SOE yang dideskripsikan oleh Gulden dan Ewers, adalah: (1) Systems to improve information access menyediakan data fokus pada indicator atau dimensi dari Interest dari pada Eksekutif; (2) Systems to improve communication menyediakan akses ke email dan teleconference; (3) Classical Decision Support System Capabilities mengijinkan para eksekutif dalam menyelesaikan permasalahan mereka dengan melakukan analisa performansi secara acak dan data yang tidak terstruktur; (4) Systems to monitor performance menyediakan akses kepada manager keatas untuk melakukan pembuatan laporan secara elektronik.

Metodologi

Metodologi yang dipakai oleh Kent dan Rick dalam riset ini, adalah kuesioner dengan sampel yang diambil adalah 1000 CEO yang masuk dalam majalah Business Week. Perbandingan dimensi yang dipakai oleh Kent dan Rick berjumlah 4, yaitu: (1) Lokasi geografi; (2) jumlah karyawan; (3) penjualan tahunan; (4) jenis industri.

Hasil Riset

Hasil riset yang didapatkan oleh Kent dan Rick, yang harus ada dalam aplikasi SIE, adalah: (1) Informasi yang sebelumnya terdapat pada laporan dalam bentuk kertas; (2) Laporan yang telah ditentukan dan telah terformat sesuai kebutuhan.

Hasil riset untuk tipe pemakai SIE, Kent dan Rick, mengkategorikan 3 tipe pemakai SIE, yaitu: (1) Converts, tipe ini menganggap SIE adalah aplikasi pengganti dalam sistem lama; (2) Pacesetters, tipe ini banyak menggunakan SIE untuk komunikasi dan analisa data sebagai fungsi utama; (3) Analyzers, tipe ini banyak menggunakan SIE untuk menganalisa data untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi.

Source: Walstrom, Kent A., Wilson, Rick L. An Examination of Executive Information System (EIS) Users. USA. 1997. ELSEVIER.