The false knowledge organization

October 5th, 2010 by layong No comments »

Knowledge is evidently related to science, superior experience, intelligent people, learning capabilities and high qualitative, interactive information. With such characteristics it seems to be very chic and attractive to stimulate managers to proclaim that they lead a knowledge organization. This is the ultimate reason that the phrase “knowledge management”, with so many interesting elements, might have been even more abused and misused than all the other examples previously mentioned.

We can observe a paradox: leaders who are loudly claiming that they are adapting the newest insights about knowledge often do the opposite; they remain old-fashioned machine bureaucrats with greedy PR instincts and a tiny flavor of innovation. Being part of such an organization is especially frustrating for employees in these days of the digital age. They know that the claim for knowledge management is false; that the rituals echo egos more then content. Knowledge management is not a simple commodity, and can only be obtained, as we will prove, after hard work.

Case: “Not invented here” syndrome
A University has a unique chance to develop a management development program for a prestigious global company. The Dean and his staff are very enthusiastic and stimulate the companys HR staff and their consultant to work with them in order to prepare an outstanding and very innovative learning program. It is clear that E-business will be the central issue because it is the new way of life. The corporate staff and the university mutually agree to launch a management-training program with a strong relationship between strategic projects and change management.

All of the officers involved were excited by the idea. Shortly after the beginning of the management-training program, the power structure within the university and the company changed simultaneously. It happened partly by accident (succession) and partly for budgetary reasons. The new officers responsible from both sides had to start again from scratch with no clue about – and worse, no interest in – the ongoing process. The result: they killed the project shortly after take-off, because they preferred their own invention, a “down to earth, no nonsense approach”. Many talented knowledge workers left the company as a result and the company now faces the backfire effect of being part of a “not invented here” syndrome from mediocre management. This is the opposite of a knowledge organization.

source: http://www.managementsite.com/236/The-Knowledge-Organization.aspx

Bicara tentang Jiwa Terpecah

October 5th, 2010 by layong No comments »

Kini telah lebih dari 100 tahun sejak psikiater asal Jerman, Emil Kraepelin, mendeskripsikan gangguan jiwa yang oleh ilmuwan asal Swiss, Paul Eugen Bleuler (1857-1939), dinamai skizofrenia, tapi skizofrenia tetap menyimpan misteri.

Kata skizofrenia berakar dari bahasa Yunani, schizein (terbelah) dan phren– (pikiran). Di Indonesia, skizofrenia termasuk gangguan jiwa berat yang terbanyak penderitanya. Kementerian Kesehatan lewat Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mencatat, penderita gangguan jiwa berat 0,46 persen dari populasi nasional.

Skizofrenia diduga diderita 6-19 orang per 1.000 penduduk. Jika jumlah penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, tak kurang dari 1,2 juta penduduk menderita skizofrenia.

Butuh waktu lama sampai skizofrenia terdiagnosis. Untuk Iman (45), itu berarti 20 tahun. Saat itu dia masih mahasiswa IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Suatu hari, Iman berdebat dengan salah satu dosennya. Sejak itu, Iman tidak bisa tidur sepicing pun selama tiga hari. ”Saya tidak terima pendapat dosen itu. Saya coba membaca kitab suci dan mendengarkan khotbah di acara mimbar agama untuk menenangkan diri, tetapi tidak mempan. Saya uring-uringan dan mudah marah,” ujarnya.

Keluarga Iman lalu membawanya ke dokter umum yang lalu merujuknya ke sebuah rumah sakit lain. ”Saya masuk bagian kejiwaan dan dirawat satu bulan,” paparnya.

Iman terus meminum obat. ”Saya bertanya-tanya mengapa harus terus minum obat. Bertahun-tahun kemudian, baru saya tahu kalau saya skizofrenia,” ujarnya. Begitu absen minum obat, kepala Iman mulai sakit. Lain waktu, setelah membaca Kitab Wahyu, Iman yakin betul dirinya adalah salah satu rasul. Dia pun yakin hendak dibunuh.

Skizofrenia menunjukkan gejala tidak umum. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia dr Tun Kurniasih Bastaman SpKJ mengatakan, gejala skizofrenia antara lain halusinasi-persepsi pancaindra salah dan tidak ada stimulusnya, seperti mendengar suara padahal tidak ada yang berbicara, melihat sesuatu, mencium bau, mengecap, merasa ada yang menjalar di kulit—yang tidak ada dalam kenyataan.

Gejala lainnya, delusi atau waham, yaitu isi pikiran tidak sesuai dengan kenyataan yang tetap yakin meski telah ditunjukkan bukti bahwa isi pikirannya salah. Misal orang itu yakin dirinya utusan Tuhan.

Luni yang hidup dengan skizofrenia kerap melihat hantu pocong dan bayangan gelap. Ia disiplin berobat dan belajar keagamaan, tetapi tetap sulit menghilangkan ilusi itu. ”Saya ingin menghilangkan ketakutan saya melihat hantu,” ujar Luni, pada pertemuan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia beberapa waktu lalu.

Sejauh ini, diyakini gangguan itu terkait ketidakseimbangan zat neurokimia yang berfungsi sebagai neurotransmiter di otak. Otak manusia terdiri dari miliaran sel yang terhubung dan berkomunikasi. Stimulasi pada suatu sel akan menghasilkan neurotransmiter yang akan menstimulasi sel lain. Salah satu neurotransmiter ialah dopamin yang aktif di wilayah otak yang berperan meregulasi emosi atau sistem limbik.

Pada skizofrenia, sistem dopamin terlalu aktif melepas dopamin. Kini para peneliti juga melihat produksi glutamate. Namun, itu belum menjawab sepenuhnya penyebab skizofrenia.

Tun mengatakan, ”Skizofrenia terkait dengan interaksi tiga faktor: faktor organo-biologik, faktor psiko-edukatif, dan faktor sosio-kultural. Faktor organobiologik ialah faktor genetik dan mekanisme neurotransmiter otak, salah satu hipotesis adalah hiperdopaminergik,” ujar Tun. Faktor psiko-edukatif terkait pola asuh keluarga, misal ayah amat keras, ibu sangat lemah.

Faktor sosio-kultural ialah norma dan sistem nilai di lingkungan tempat penderita tinggal yang dapat menjadi sumber stres. Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan sekaligus dokter spesialis kejiwaan, Irmansyah, berpendapat, beberapa faktor lain diduga berperan menjadi faktor risiko, di antaranya komplikasi saat proses kelahiran, infeksi saat dalam kandungan, riwayat trauma kepala, tekanan, dan pengalaman traumatis serta pengaruh penyalahgunaan obat psikotropik (narkoba).

Peristiwa yang menekan atau menimbulkan perasaan tidak tenang dan kekecewaan dalam kehidupan menjadi pencetus, seperti hubungan interpersonal (pertengkaran dengan orang dekat), perubahan lingkungan (pindah tempat tinggal), dan perubahan ekonomi (bangkrut).

Pemulihan

Irmansyah mengatakan, tujuan pengobatan ialah mengontrol gejala skizofrenia sehingga memungkinkan penderita hidup normal dan aktif dalam kegiatan keseharian di masyarakat.

”Ketidakpahaman menyebabkan skizofrenia dikaitkan dengan hal gaib sehingga terkadang pasien dibawa ke ”orang pintar”. Saat sudah putus asa dan ke dokter, kondisinya sudah lebih parah,” ujar Irmansyah.

Penyebab keengganan berobat lainnya ialah efek samping obat yang memengaruhi sistem lain di otak yang bisa menyebabkan tremor.

Tun menegaskan, skizofrenia harus diobati. Perawatan penderita di jalur alternatif atau tanpa obat tidak dapat dibenarkan. Data ilmiah membuktikan, makin cepat dan tepat penderita diobati, hasilnya lebih baik. Penderita skizofrenia perlu diajak kembali bersosialisasi. Peran keluarga dan masyarakat pascarehabilitasi penting untuk mengurangi kekambuhan.

”Keluarga dan lingkungan perlu menciptakan situasi baik agar kerabat yang skizofrenia tidak rentan terganggu,” ujar Bagus Utomo yang kakaknya terserang skizofrenia. Bagus bersama keluarga, orang dengan skizofrenia, dan pemerhati mendirikan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia. ”Begitu memahami apa yang mereka alami, kita lebih bijak,” ujarnya.

Dengan kondisi terkontrol, mereka yang sudah pulih bisa produktif dan berkarya. Saat ini, Iman menjadi tenaga penjual di sebuah perusahaan pembasmi hama. Kehidupan sosialnya juga membaik. Dia sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Tanpa ragu, Iman menjelaskan gangguan yang dia alami, yang telah dipahaminya.

Indira Permanasari & Nawa Tunggal

source: http://health.kompas.com/index.php/read/2010/10/05/07092282/Bicara.tentang.Jiwa.Terpecah-8

Tacit, Implicit and Explicit knowledge

September 13th, 2010 by layong No comments »

Pengetahuan Tacit memungkinkan individu untuk memahami masalah dan solusi untuk masalah yang dikenal tanpa bisa menjelaskan rasionalnya. “Filsuf Polanyi (1967) menggambarkan pengetahuan tacit adalah sebagai pengetahuan yang mengetahui lebih dari yang kita tahu, atau mengetahui bagaimana melakukan sesuatu tanpa berpikir tentang hal ini, seperti naik sepeda” (Smith 2001). Menurut Smith (2001), pengetahuan tacit terdiri dari model mental, asumsi, persepsi, keyakinan, nilai-nilai dan wawasan. Di tingkat individu, digunakan untuk mengelola diri sendiri, orang lain, dan tugas seseorang. Dalam konteks yang lebih besar, dapat diterapkan untuk membuat dan mengendalikan tugas yang lebih besar, seperti sistem administrasi organisasi global.

Smith (2001) juga membahas pengertian pengetahuan implisit, dan menghasilkan kesimpulan bahwa tacit adalah sama dengan pengetahuan implisit. Namun, Fred Nickols (2000) membuat perbedaan antara tacit dan implisit. Dia mendefinisikan pengetahuan implisit sebagai pengetahuan yang dapat diamati dalam kinerja pendekatan / baik profesionalnya, metode, atau tindakan. Namun, belum diartikulasikan dan disajikan dalam bentuk eksplisit. Sebagai perbandingan, pengetahuan eksplisit telah dinyatakan dalam beberapa bentuk fisik, sementara tacit tidak dan tidak dapat diartikulasikan.

realtionship tacit explicti dan implisit

Pengetahuan eksplisit, di sisi lain, adalah akademis atau teknis data atau informasi yang ada dalam bentuk konkret manual, buku, hak cipta, paten, atau ekspresi matematika. Hal ini secara cermat dan sistematis dikodifikasi, disimpan dalam database dan berbagi melalui media cetak, elektronik metode, pendidikan formal, dan sarana formal lainnya. Hal ini umumnya digunakan dan dapat digunakan secara bebas untuk mengatasi masalah sejenis. (Smith 2001)

Jadi, “pengetahuan tacit terutama didasarkan pada pengalaman hidup sedangkan pengetahuan eksplisit mengacu pada aturan dan prosedur yang perusahaan berikut” (Baets 2005, 59). Mereka berdua memainkan bagian yang sangat penting dalam penciptaan pengetahuan, berbagi dan proses penyimpanan. Baets (2005) menambahkan pengetahuan budaya ke daftar kategori pengetahuan yang esensial dan mendefinisikan sebagai “lingkungan di mana perusahaan dan individu (dalam perusahaan) beroperasi”. Konversi dan penciptaan terjadi berdasarkan pengetahuan eksplisit, tacit dan pengetahuan budaya seseorang memiliki atau memiliki akses ke (Baets 2005, 69).

Pemahaman pengetahuan tacit dan eksplisit disajikan di atas adalah berdasarkan Nonaka’s et al. (2000) SECI model dan definisi pengetahuan yang berkaitan dengannya. Namun, ide-ide yang dikembangkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) telah banyak dikritik oleh ahli  lainnya (misalnya Cook dan Brown 1999; Tsoukas 2002). Tsoukas mengklaim bahwa Nonaka dan Takeuchi pemahaman tentang “pengetahuan tacit  sebagai pengetahuan yang belum diungkapkan […] adalah salah: itu mengabaikan ineffability penting dari pengetahuan tacit, sehingga mengurangi artikulasinya. Pengetahuan tacit dan eksplisit bukanlah dua ujung kontinum tetapi dua sisi mata uang yang sama: bahkan jenis pengetahuan yang paling eksplisit adalah hasil proses dari pengetahuan tacit”(Tsoukas 2002, 15-16). Dia juga menyatakan bahwa adalah mustahil untuk fokus pada keterangan di luar konteks, pengetahuan sehingga tacit hanya ada dalam tindakan. Hal ini dimungkinkan untuk membicarakannya, tapi “tidak dapat ‘ditangkap’, ‘diterjemahkan’, atau ‘diubah’  tapi hanya dapat ditampilkan, diwujudkan, dalam apa yang kita lakukan”. Menurut dia, manusia menciptakan pengetahuan baru tidak hanya mengubah pengetahuan tacit menjadi eksplisit, tetapi melalui kinerja sehari-hari dan interaksi sosial.

Kita harus setuju dengan Tsoukas (2002) sampai batas tertentu, namun tampaknya pendekatannya agak mekanis, meskipun ia sendiri menuduh Nonaka dan Takeuchi (1995) menjadi otomatis. Model SECI, pertama kali dibuat oleh Nonaka dan Takeuchi, merupakan representasi yang disederhanakan dari proses konversi pengetahuan. Tsoukas tidak mempertimbangkan karakter evolusi dan dinamis Nonaka dan Takeuchi skema yang menggambarkan bagaimana individu mengetahui dipakai bersama-sama, umum, dan digunakan dalam merancang alat operasional, yang membantu untuk mengkoordinasikan kerjasama individu dalam sebuah organisasi. Misalnya, manajemen proyek perangkat lunak merupakan hasil dari suatu proses panjang dari pertukaran pengetahuan tacit dan eksplisit antara individu dan kelompok. Mungkin dimulai dari ide seseorang (atau kelompok) untuk memenjabarkan dan berbagi pengalaman manajemen proyeknya. Namun, untuk menciptakan alat ini, banyak orang harus menggabungkan pengetahuan mereka (baik tacit dan eksplisit). Namun, alat buatan siap digunakan baik dalam tata cara standar (eksplisit) dan individu (diam-diam) oleh masing-masing individu, yang sekali lagi mendorong penciptaan pengetahuan tacit dan eksplisit baru.

Cara Nonaka et al. (2000) pengetahuan tacit dan eksplisit saat ini tidak eksklusif, tetapi inklusif. Beberapa pengetahuan tacit menjadi eksplisit, beberapa tidak. Mereka tidak lagi “dua ujung” kontinum, tidak “dua sisi mata uang yang sama”, tetapi mereka hidup berdampingan dalam lingkungan yang sama pengetahuan. Tidak ada awal dan akhir dalam proses evolusi pengetahuan yang berkesinambungan, dan batas antara tacit dan eksplisit selalu kabur dan berubah.

knowledge sphere

Pengetahuan tacit yang baru dan pengetahuan eksplisit diciptakan tidak hanya melalui interaksi sosial, sebagai klaim Tsoukas, tetapi juga melalui proses generalisasi dan standardisasi, serta melalui sistemik dan terorganisir, atau individu, cara bekerja dan belajar, melalui penggunaan berbagai alat dll. Prosesnya adalah  dinamis, melibatkan individu, kelompok, dan organisasi, dan menggunakan saluran yang berbeda, seperti interaksi sosial, database, jaringan manusia dan digital, dan kombinasi dari ketiganya.

Source: Janus-Hiekkaranta, Agnieszka. “DEVELOPING A COMPREHENSIVE KNOWLEDGE MANAGEMENT APPROACH   FOR ICT-BASED PROFESSIONAL SERVICES COMPANIES”. HELSINKI SCHOOL OF ECONOMICS. 2009. Swedish

Knowledge Management: Pengertian dan KM Cycle

September 13th, 2010 by layong No comments »

Pengertian Knowledge

“knowledge  is neither data nor  information,  though  it related  to both,  and  the  differences  between  these  terms  are  often a matter  of  degree”.

Pengetahuan  bukan  sekedar data atau informasi, akan tetapi berhubungan dengan keduanya, dan perbedaan antara  istilah-istilah ini sering kali adalah derajat kemateriannya.

Pengertian Knowledge Management System

Skyrme  mengemukakan  definisi:    ”Knowledge Management  is  the  explicit  and systematic   management  of  vital  knowledge  and  its  associated  processes  of  creation, organisation,  diffusion,  use  and  exploitation”.  Knowledge  management  merupakan manajemen pengetahuan vital secara eksplisit dan sistematis dan proses yang berasosiasi pada pembentukan, pengorganisasian, difusi, penggunaan dan eksploitasi.

Penciptaan dan Pengembangan Knowledge

Penciptaan  pengetahuan melibatkan  lima  langkah  utama, Von Krogh,  Ichiyo  serta Nonaka  mengemukakan  bahwa  penciptaan  pengetahuan  organisasional  terdiri  dari  lima langkah utama yaitu:

a.  berbagi pengetahuan terbatinkan,

b.  menciptakan konsep,

c.  membenarkan konsep,

d.  membangun prototype, dan

e.  melakukan penyebaran pengetahuan di berbagai fungsi dan tingkat di organisasi.

Skyrme membedakan siklus inovasi dan siklus knowledge management seperti yang terlihat  pada Gambar 1.

KM Cycle

Siklus  knowledge management   mempunyai  kelebihan  dalam  hal  pengkategorian, pengoraganisasian  dan  penyimpanan,  deseminasi,  dan  kemudahan  untuk  diakses.  Dengan demikian siklus konsep yang dibangun atas knowledge management jauh lebih baik dan lebih mendorong terjadinya inovasi dibandingkan dengan siklus inovasi itu sendiri.

Source: Estriyanto, Yuyun, Sucipto, Taufiq. “Implementasi Knowledge Management pada APTEKINDO, Pembentukan Sharing Culture antar Pendidikan Teknologi dan Kejuruan di Indonesia”. APTEKINDO. 2008.

Karakterisitik KM

September 10th, 2010 by layong No comments »

Karakterisitik dari knowledge management adalah tacit knowledge, explicit knowledge, dan implicit knowledge.

Explicit knowledge adalah sebuah knowledge yang dapat direpresentasikan dalam bentuk bahasa standar. Explicit knowledge lebih mudah untuk disimpan, diambil, dibagi dan disebarluaskan dalam organisasi. Beberapa contoh dari explicit knowledge adalah  publikasi komersial, email, internet, GroupWare, intranet, database, organizational business record dan materi pembelajaran yang lain.

Tacit knowledge adalah knowledge yang bertolak belakang dengan explicit knowledge yaitu knowledge yang tidak bisa dituangkan dalam bahasa standar. Tacit knowledge hanya terdapat pada individu berdasarkan pengalaman. Knowledge ini juga banyak dipengaruhi oleh intuisi, pengamatan, firasat dan skills individu tersebut. Knowledge ini sulit sekali dituangkan dalam bentuk tulisan sehingga knowledge ini menjadi sulit untuk disebarluaskan dalam organisasi.

Sedangkan untuk implicit knowledge, adalah sebuah knowledge yang tidak perlu dijelaskan bagaimana dilakukan, tetapi bisa dilakukan dengan baik. Contoh: tidak semua orang tahu menjelaskan bagaimana caranya kerja bernafas, tapi semua orang bisa bernafas dengan baik.

source: Nunes, Miquel Baptista, Annansingh, Fenio, Eaglestone, Barry, & Wakefield, Richard, Knowledge Management Issues in Knowledge-intensive SMEs, Journal of Documentation, 2006; 62. UK.